PRICE LIST OF GLORIA SEAFOOD SUPPLIER BALI 2022

PRICE LIST OF SEAFOOD 2022

Senin, 27 Juni 2011

Romeo dan Juliet

Cerita Romeo dan Juliet, Romantis dan Tragi

Sejak dulu, kisah cinta selalu memiliki daya tarik tersendiri. Layaknya magnet, ia dapat menarik perhatian siapa saja, tidak hanya wanita tetapi juga pria. Ia kerap menjadi bagian dari fantasi dan angan-angan manusia. Maka tak heran jika film dengan tema cinta banyak difavoritkan orang. Seperti kisah “Romeo dan Juliet” yang ditulis oleh sastrawan besar, William Shakespeare.
Kisah percintaan karya William Shakespeare ini memang sebuah masterpiece yang telah menjadi legenda sepanjang masa. Sejak dulu hingga sekarang, kisahnya telah menyebar ke seluruh belahan dunia dan tak pernah dilupakan orang. Lewat karyanya ini, William Shakespeare berhasil menyajikan romansa cinta dengan nuansa klasik dan tragedi. Romantis namun tragis, itulah gambaran umum dari kisah cinta yang melegenda ini.
Hingga kini, kisah “Romeo dan Juliet” telah sukses diadaptasi ke dalam beberapa bentuk karya, seperti drama, musikal, film, dan opera. Kisah Romeo dan Juliet yang sukses diangkat menjadi film layar lebar di antaranya film yang diproduksi tahun 1968 oleh sutradara Francesco Hayez.
Hayez menggaet aktor Leonard Whiting sebagai Romeo dan Olivia Hussey sebagai Juliet. Film ini sukses memboyong 2 penghargaan di ajang bergengsi Academy Awards dan 3 Golden Globe Awards. Film ini mengambil latar di Kota Verona, Italia. Berkat kesuksesan film inilah Kota Verona semakin dikenal.
Lanjut pada tahun 1996, sutradara Baz Luhrmann juga meluncurkan film bertema kisah cinta remaja yang mengabadikan cerita Romeo dan Juliet. Meski ceritanya tak jauh beda dari film terhadulunya, namun Luhrmann berhasil mengemas film ini dengan sentuhan berbeda dan latar yang lebih modern. Kali ini, tokoh Romeo diperankan oleh Leonardo Dicaprio dan Juliet oleh Claire Danis.

Ringkasan Cerita Romeo dan Juliet
Dikisahkan di Kota Verona, Italia, terdapat dua keluarga superpower yang saling bermusuhan sejak lama, yaitu Keluarga Montague dan Capulet. Mulanya, Romeo yang berasal dari keluarga Montague jatuh hati pada Rosaline yang berasal dari keluarga Capulet.
Suatu ketika, Tuan besar Capulet, yaitu ayah Juliet, berencana mengadakan pesta besar dan mengundang semua rekan bisnis serta teman-temannya. Keluarga Montague tentu saja tidak diundang. Namun, Romeo nekat menghadiri pesta tersebut karena ingin bertemu Rosaline. Dengan kecerdasannya, ia pun sukses menyamar dan menyelinap ke pesta tersebut.
Begitu sampai di tengah pesta, perhatian Romeo justru teralihkan dengan pesona Juliet, bukannya Rosaline. Romeo pun langsung jatuh hati. Di tengah masa saling mengagumi satu sama lain, keduanya harus menelan kekecewaan setelah mengetahui bahwa mereka lahir dari keluarga yang saling bermusuhan.
Meski demikian, sepasang remaja ini tidak ingin menyerah dengan permusuhan keluarga yang dihadapi. Mereka berusaha menyatukan diri di tengah ancaman dan kekerasan dari keluarga masing-masing. Dengan bantuan teman Romeo, yaitu Pastor Lawrence, mereka menikah secara diam-diam.
Sayangnya di tengah kebahagiaan tersebut, salah satu sahabat Romeo meninggal ditangan sepupu Juliet, Tybalt. Romeo yang awalnya tidak lagi menyimpan dendam untuk keluarga Capulet, akhirnya membalas dengan membunuh Tybalt.
Kejadian ini tentu saja memperbesar api permusuhan antara Capulet dan Montague. Ayah Juliet yang tidak mengetahui pernikahan putrinya, memutuskan untuk menikahkan Juliet dengan seorang pemuda bernama Paris.
Cinta yang ditentang membuat Juliet putus asa. Ia pun berkonsultasi dan membuat rencana dengan Pastor Lawrence.
Pastor Lawrence menyarankan agar Juliet pura-pura menyetujui pernikahan yang diatur ayahnya. Namun ketika pagi hari menjelang pernikahan, dia harus minum ramuan yang akan membuatnya tampak seperti sudah meninggal. Setelah itu, dia akan dimasukkan ke dalam lemari besi penguburan Capulet. Kemudian, Pastor pun akan mengirimkan Romeo untuk menyelamatkannya.
Ironisnya, sebelum rencana ini sampai ke telinga Romeo, ia telah mengetahui kematian istri tercintanya dari orang lain.
Dengan hati yang hancur, Romeo pun pergi melihat Juliet untuk terakhir kalinya. Di sana, ia sempat dihadang oleh Paris yang dengan sekejab Romeo membunuhnya. Tak ada satu pun yang bisa menghentikan ia untuk bersatu dengan kekasih tercintanya. Di samping tubuh Juliet, ia menelan racun yang dibelinya lalu mati seketika
Namun beberapa waktu kemudian, Juliet pun terbagun dengan sebuah harapan kosong. Ia justru melihat tubuh suaminya yang tanpa nyawa. Merasa tak lagi punya alasan untuk hidup, Juliet perlahan mengambil belati Romeo dan membunuh dirinya dengan benda tersebut

VALENTINE'S DAY

LEGENDA HARI VALENTINE

Nama Valentine diambil dari nama seorang pendeta kristen yaitu S.t Valnetine yang tinggal diRoma. Valentine adalah seorang pendeta yang bertugas menikahkan pasangan kristen. Tapi raja Roma, Claudius melarang orang kristen untuk menikah, tapi Valaentine mengabaikan perintah raja tersebut dengan tetap melaksanakan pernikahan dengan sembunyi-sembunyi, tapi hal itu diketahui oleh raja. Ahirnya Valaentine ditangkap dan dipenjara. Di dalam penjara Valentine jatuh cinta pada anak perempuan penjaga penjara itu.
Setelah satu tahun raja menawarkan kepada Valentine untuk membebaskannya jika dia sanggup berhenti melaksanakan pernikahan secara diam-diam. Valentine menolak tawaran raja tersebut, jadi raja menghukum mati Valentine. Dia dieksekusi pada tahun 270 sebelum masehi pada tangga 14 bulan Februari. Sebelum  Valentine dibunuh, Valentine mengirim surat cinta kepada anak perempuan penjaga penjara itu. Valentine menandatangani surat itu dengan “From your Valentine”. Itulah hari Valentine yang pertama.
Oleh karena itu, setiap tanggal 14 Februari sebagian orang sangat antusias merayakan hari Valentine sebagai hari cinta.  Biasanya, mereka merayakan hari Valentine  dengan memberikan sebuah hadiah kepada orang yang dicintai, seperti Coklat, surat cinta, dan yang lainnya.  Apakah kita  pantas merayakannya……..?

SPEECH ACT (semantic)

CHAPTER I
INTRODUCTION

A.     BACKGROUND
Speech act is a technical term in linguistics and the philosophy of language. The contemporary use of the term goes back to John L. Austin's doctrine of locutionary, illocutionary and perlocutionary acts. Many scholars identify 'speech acts' with illocutionary acts, rather than locutionary or perlocutionary acts. Like with the notion of illocutionary acts, there are different opinions concerning the question what being a speech act amounts to. The extension of speech acts is commonly taken to include such acts as promising, ordering, greeting, warning, inviting someone and congratulating.

CHAPTER II
DISCUSSION

A.     Locutionary, illocutionary and perlocutionary acts

Speech acts can be analysed on three levels: A locutionary act, the performance of an utterance: the actual utterance and its ostensible meaning, comprising phonetic, phatic and rhetic acts corresponding to the verbal, syntactic and semantic aspects of any meaningful utterance; an illocutionary act: the semantic 'illocutionary force' of the utterance, thus its real, intended meaning (see below); and in certain cases a further perlocutionary act: its actual effect, such as persuading, convincing, scaring, enlightening, inspiring, or otherwise getting someone to do or realize something, whether intended or not (Austin 1962).

B.     Illocutionary acts

The concept of an illocutionary act is central to the concept of a speech act. Although there are numerous opinions as to what 'illocutionary acts' actually are, there are some kinds of acts which are widely accepted as illocutionary, as for example promising, ordering someone, and bequeathing.
Following the usage of, for example, John R. Searle, "speech act" is often meant to refer just to the same thing as the term illocutionary act, which John L. Austin had originally introduced in How to Do Things with Words (published posthumously in 1962).
According to Austin's preliminary informal description, the idea of an "illocutionary act" can be captured by emphasising that "by saying something, we do something", as when someone orders someone else to go by saying "Go!", or when a minister joins two people in marriage saying, "I now pronounce you husband and wife." (Austin would eventually define the "illocutionary act" in a more exact manner.)
An interesting type of illocutionary speech act is that performed in the utterance of what Austin calls performatives, typical instances of which are "I nominate John to be President", "I sentence you to ten years' imprisonment", or "I promise to pay you back." In these typical, rather explicit cases of performative sentences, the action that the sentence describes (nominating, sentencing, promising) is performed by the utterance of the sentence itself.

a.      Examples

§         Greeting (in saying, "Hi John!", for instance), apologizing ("Sorry for that!"), describing something ("It is snowing"), asking a question ("Is it snowing?"), making a request and giving an order ("Could you pass the salt?" and "Drop your weapon or I'll shoot you!"), or making a promise ("I promise I'll give it back") are typical examples of "speech acts" or "illocutionary acts".
§         In saying, "Watch out, the ground is slippery", Mary performs the speech act of warning Peter to be careful.
§         In saying, "I will try my best to be at home for dinner", Peter performs the speech act of promising to be at home in time.
§         In saying, "Ladies and gentlemen, please give me your attention", Mary requests the audience to be quiet.
§         In saying, "Race with me to that building over there!", Peter challenges Mary.

b.      Classifying illocutionary speech acts

Searle (1975)[1] has set up the following classification of illocutionary speech acts:
§         Representative = speech acts that commit a speaker to the truth of the expressed proposition, e.g. reciting a creed
§         directives = speech acts that are to cause the hearer to take a particular action, e.g. requests, commands and advice
§         commissives = speech acts that commit a speaker to some future action, e.g. promises and oaths
§         expressives = speech acts that express the speaker's attitudes and emotions towards the proposition, e.g. congratulations, excuses and thanks
§         declarations = speech acts that change the reality in accord with the proposition of the declaration, e.g. baptisms, pronouncing someone guilty or pronouncing someone husband and wife

C.     Indirect speech acts

In the course of performing speech acts we ordinarily communicate with each other. The content of communication may be identical, or almost identical, with the content intended to be communicated, as when a stranger asks, "What is your name?"
However, the meaning of the linguistic means used (if ever there are linguistic means, for at least some so-called "speech acts" can be performed non-verbally) may also be different from the content intended to be communicated. One may, in appropriate circumstances, request Peter to do the dishes by just saying, "Peter ...!", or one can promise to do the dishes by saying, "Me!" One common way of performing speech acts is to use an expression which indicates one speech act, and indeed performs this act, but also performs a further speech act, which is indirect. One may, for instance, say, "Peter, can you open the window?", thereby asking Peter whether he will be able to open the window, but also requesting that he do so. Since the request is performed indirectly, by means of (directly) performing a question, it counts as an indirect speech act.
Indirect speech acts are commonly used to reject proposals and to make requests. For example, a speaker asks, "Would you like to meet me for coffee?" and another replies, "I have class." The second speaker used an indirect speech act to reject the proposal. This is indirect because the literal meaning of "I have class" does not entail any sort of rejection.
This poses a problem for linguists because it is confusing (on a rather simple approach) to see how the person who made the proposal can understand that his proposal was rejected. Following substantially an account of H. P. Grice, Searle suggests that we are able to derive meaning out of indirect speech acts by means of a cooperative process out of which we are able to derive multiple illocutions; however, the process he proposes does not seem to accurately solve the problem. Sociolinguistics has studied the social dimensions of conversations. This discipline considers the various contexts in which speech acts occur.

a.      John Searle's theory of "indirect speech acts"

Searle has introduced the notion of an 'indirect speech act', which in his account is meant to be, more particularly, an indirect 'illocutionary' act. Applying a conception of such illocutionary acts according to which they are (roughly) acts of saying something with the intention of communicating with an audience, he describes indirect speech acts as follows: "In indirect speech acts the speaker communicates to the hearer more than he actually says by way of relying on their mutually shared background information, both linguistic and nonlinguistic, together with the general powers of rationality and inference on the part of the hearer." An account of such act, it follows, will require such things as an analysis of mutually shared background information about the conversation, as well as of rationality and linguistic conventions.
In connection with indirect speech acts, Searle introduces the notions of 'primary' and 'secondary' illocutionary acts. The primary illocutionary act is the indirect one, which is not literally performed. The secondary illocutionary act is the direct one, performed in the literal utterance of the sentence (Searle 178). In the example:
1)     Speaker X: "We should leave for the show or else we’ll be late."
2)     Speaker Y: "I am not ready yet."
Here the primary illocutionary act is Y's rejection of X's suggestion, and the secondary illocutionary act is Y's statement that she is not ready to leave. By dividing the illocutionary act into two subparts, Searle is able to explain that we can understand two meanings from the same utterance all the while knowing which is the correct meaning to respond to.
With his doctrine of indirect speech acts Searle attempts to explain how it is possible that a speaker can say something and mean it, but additionally mean something else. This would be impossible, or at least it would be an improbable case, if in such a case the hearer had no chance of figuring out what the speaker means (over and above what she says and means). Searle's solution is that the hearer can figure out what the indirect speech act is meant to be, and he gives several hints as to how this might happen. For the previous example a condensed process might look like this:
Step 1  : A proposal is made by X, and Y responded by means of an illocutionary act (2).
Step 2  : X assumes that Y is cooperating in the conversation, being sincere, and that she has made a statement that is relevant.
Step 3  : The literal meaning of (2) is not relevant to the conversation.
Step 4  : Since X assumes that Y is cooperating; there must be another meaning to (2).
Step 5  : Based on mutually shared background information, X knows that they cannot leave until Y is ready. Therefore, Y has rejected X's proposition.
Step 6  : X knows that Y has said something in something other than the literal meaning, and the primary illocutionary act must have been the rejection of X's proposal.
Searle argues that a similar process can be applied to any indirect speech act as a model to find the primary illocutionary act (178). His proof for this argument is made by means of a series of supposed "observations" (ibid., 180-182).

b.      Analysis using Searle's theory

In order to generalize this sketch of an indirect request, Searle proposes a program for the analysis of indirect speech act performances, whatever they are. He makes the following suggestion:
Step 1  : Understand the facts of the conversation.
Step  2 : Assume cooperation and relevance on behalf of the participants.
Step 3  : Establish factual background information pertinent to the conversation.
Step 4  : Make assumptions about the conversation based on steps 1–3.
Step 5  : If steps 1–4 do not yield a consequential meaning, then infer that there are two illocutionary forces at work.
Step 6  : Assume the hearer has the ability to perform the act the speaker suggests. The act that the speaker is asking be performed must be something that would make sense for one to ask. For example, the hearer might have the ability to pass the salt when asked to do so by a speaker who is at the same table, but not have the ability to pass the salt to a speaker who is asking the hearer to pass the salt during a telephone conversation.
Step 7: Make inferences from steps 1–6 regarding possible primary illocutions.
Step 8: Use background information to establish the primary illocution (Searle 184).
With this process, Searle concludes that he has found a method that will satisfactorily reconstruct what happens when an indirect speech act is performed.

D.    History

For much of the history of linguistics and the philosophy of language, language was viewed primarily as a way of making factual assertions, and the other uses of language tended to be ignored.[citation needed] The work of J. L. Austin, particularly his How to Do Things with Words, led philosophers to pay more attention to the non-declarative uses of language. The terminology he introduced, especially the notions "locutionary act", "illocutionary act", and "perlocutionary act", occupied an important role in what was then to become the "study of speech acts". All of these three acts, but especially the "illocutionary act", are nowadays commonly classified as "speech acts".
Austin was by no means the first one to deal with what one could call "speech acts" in a wider sense. Earlier treatments may be found in the works of some church fathers,[2] and scholastic philosophers,[3] in the context of sacramental theology,[4] as well as Thomas Reid,[5] and Charles Sanders Peirce.[6]
Adolf Reinach (1883–1917) has been credited with a fairly comprehensive account of social acts as performative utterances dating to 1913, long before Austin and Searle. His work had little influence, however, perhaps due to his death at 33 in the German Army at the onset of war in 1914.
The term "Speech Act" had also been already used by Karl Bühler in his "Die Axiomatik der Sprachwissenschaften”, Kant-Studien 38 (1933), 43, where he discusses a Theorie der Sprechhandlungen and in his book Sprachtheorie (Jena: Fischer, 1934) where he uses "Sprechhandlung" and "Theorie der Sprechakte".

a.      Historical critics

Critical theorists in other areas of critical theory use speech act theory as a way of approaching aspects of their own discourse. It is used mainly in the fields of linguistics and philosophy, meaning that, in speaking, a person is doing so through a particular set of pre-set conventions. The basics of the theory centre on the idea that words, when placed together, do not always have a fixed meaning. Austin’s work has had many critics; Gorman (1999, p. 109) explains that many people have used his work without fully understanding its criticisms, and Austin’s main arguments have had only one notable follow up work, that by Searle in 1969. Speech-act theory is a continuing discourse, still written about and criticised in hundreds of articles and books. MacKinnon (1973, p. 235) states that ‘the various conceptual systems we have indicated are only intelligible as extensions of an ordinary language framework’, meaning that, as its basis, the theory must first have an already working or ‘ordinary’ set of rules that are indisputable and reliable.

Bibliography


William P. Alston: 'Illocutionary Acts and Sentence Meaning'. Ithaca: Cornell University Press 2000

Doerge, Friedrich Christoph. Illocutionary Acts - Austin's Account and What Searle Made Out of It. Tuebingen 2006

John Searle, Speech Acts, Cambridge University Press 1969,

John Searle, "Indirect speech acts." In Syntax and Semantics, 3: Speech Acts, ed.

P. Cole & J. L. Morgan, pp. 59–82. New York: Academic Press. (1975).

Reprinted in Pragmatics: A Reader, ed. S. Davis, pp. 265–277. Oxford: Oxford University Press. (1991)

AKHLAK DAN IMAN


BAB I
PENDAHULUAN


A.       LATAR BELAKANG
Kehidupan bermasyarakat tidak akan tegak tanpa kerja sama antar anggotanya. Kerja sama ini hanya dapat terjadi jika ada undang-undang yang mengatur hubungan-hubungan antar anggota masyarakat serta membatasi hak-hak dan kewajibannya. Tapi undang-undang ini tetap memerlukan sebuah kekuatan yang memiliki kewibawaan dan supremasi dalam jiwa manusia serta menjamin terjaganya.
Kami tegaskan bahwa di muka bumi ini tidak ada kekuatan yang setara atau mendekati kekuatan agama dalam menjamin tegaknya hukum, keharmonisan antar anggota masyarakat, ketaatan pada aturan-aturannya, serta terciptanya ketenteraman dan kedamaian di dalamnya. 
Akhlak merupakan pilar jiwa pribadi yang memiliki keutamaan, penyangga masyarakat yang bermartabat. Suatu masyarakat akan tegak selama ada akhlak di dalamnya dan akan hancur ketika akhlak tidak ada di dalamnya. Dalam pandangan agama umumnya dan Islam khususnya, akhlak memiliki tempat yang tinggi dan kedudukan yang terhormat. Pujian tertinggi al-Qur`an untuk Rasulullah Saw. adalah:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. al-Qalam/68: 4).








BAB II
PEMBAHASAN
 
A.     DEFINISI AKHLAK
Ada   dua   pendekatan   untuk   mendefenisikan   akhlak,   yaitu   pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologi (peristilahan). Akhlak berasal dari bahasa arab yakni khuluqun yang menurut loghat diartikan:  budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung  segi-segi persesuaian denga perkataan khalakun yang berarti kejadian, serta erat hubungan dengan khaliq yang berarti pencipta dan makhluk yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.
Sedangkan secara terminologi akhlak suatu keinginan yang ada di dalam jiwa yang akan dilakukan dengan perbuatan tanpa intervensi akal/pikiran. Menurut Al Ghazali akhlak adalah sifat yang melekat dalam jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan mudah tanpa banyak pertimbangan lagi. Sedangkan sebagaian ulama yang lain mengatakan akhlak itu adalah suatu sifat yang tertanam didalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul disetiap ia bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah) karena sudah menjadi budaya sehari-hari.

B.     DEFINISI IMAN
Menurut bahasa Iman berarti “pembenaran hati”. Sedangkan menurut istilah, Iman adalah :تصديق بالقلب , وإقرارباللسان , وعمل بالأركان
“Membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan”
Iman adalah Mengikrarkan dengan lisan” maksudnya mengucapkan dua kalimat syahadat ”Laa ilaha illallah wa anna Muhammad Rasulullah” (Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah), serta mengamalkan konsekuensi nya.
”Iman adalah Mengamalkan dengan anggota badan”maksudnya hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan, lisan mengamalkan dalam bentuk perkataan, sedangkan anggota badan mengamalkannya dalam bentuk ibadah-ibadah sesuai dengan fungsinya.
Amalan – amalan hati mencakup 24 perkara yang berisikan keyakinan (aqidah) dan niat. Diantara nya adalah Rukun Iman yang enam, Mencintai Allah, Cinta dan Benci karena Allah, Taubat, Syukur, Tawakal, Tidak suka marah, tidak dengki, Ikhlas dan seterus nya
Amalan – Amalan lisan mencakup 7 perkara yaitu Melafazhkan kalimat tauhid, Membaca al-Quran, Mempelajari Ilmu Agama, Mengajarkan Ilmu Agama, Doa, Dzikir, Menjauhi perkataan sia – sia.

C.     HUBUNGAN AKHLAK DENGAN IMAN
Akhlak dan iman adalah dua perkara yang perlu kita miliki. Sebagai seorang muslim, kita haruslah mengetahui bahawa terdapat hubungan di antara akhlak dan iman. Akhlak yang baik menurut pandangan Islam haruslah berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup sekadar disimpan di dalam hati,melainkan harus dilahirkan dalam perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal soleh atau tingkah laku yang baik. Jika iman melahirkan amal soleh,barulah dikatakan iman itu sempurna karna dapat direalisasikan.
Jelaslah bahawa akhlaq adalah mata rantai kepada keimanan. Sebagai contoh,sifat malu (dalam membuat kejahatan) adalah satu dari pada akhlaqul mahmudah´. Dalam hadis Nabi ada menegeaskan bahawa malu itu adalah cabang dari pada keimanan. Sebaliknya,akhlak yang dipandang buruk adalah akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Seterusnya sekalipun sesuatu perbuatan pada lahirnya baik, tetapi titik tolak nya bukan kerana iman,maka perbuatan itu tidak dapat penilaian di sisi Allah s.w.t.
Hubungan antara akhlak dan iman tercermin dalam pernyataan Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a: yang berbunyi "Orang mukmin yang sempurna imannya ialah yang terbaik budi  pekertinya(akhlak)" (Riwayat Al-Tarmidzi).
Selain itu,akhlak dan iman mempunyai hubungannya yang lain. Kita dapat lihat hubungan itu berdasarkan motivasi iman itu sendiri.Tindakan dan pekerjaan manusia selalu didorong oleh suatu motivasi tertentu. Motivasi itu ada bermacam-macam,ada yang kerana kepentingan kekayaan,ingin masyhur namanya dan sebagainya.Adapun dalam pandangan Islam, maka yang menjadi pendorong paling dalam dan paling kuat untuk melakukan sesuatu amal perbuatan yang baik, adalah akidah,iman yang tersemat dalam hati. Iman itulah yang membuat seseorang muslim ikhlas hendak bekerja keras bahkan rela berkorban. Iman itulah sebagai motivasi dalam peribadi nya yang membuatkan seseorang tidak boleh diam dari pada melakukan kegiatan kebajikan dan amal soleh.
Jika´motor iman´ itu bergerak,maka keluarlah produknya berupa amal soleh dan akhlaqul karimah´. Dengan demikian hanya daripada jiwa yang di hayati iman dapat diharapkan memancarkan kebaikandan kebajikan yang sebenarnya. Kebaikan yang lahir tanpa bersumberkan keimanan, adalah kebaikan yang tidak mendapat penilaian di sisi Allah s.w.t.
Daripada rukun iman yang enam,dua dari padanya adalah kepercayaan kepada Allah dan kepercayaan kepada hari akhirat. Dua rukun iman ini menjadi asas dan teras yang membezakan antara islam dan akhlak-akhlak lainnya serta dengan sendirinya membezakan kesannya kepada akhlak. Keimanan kepada kedua-dua hakikat ini memberikan kesan yang positif. Sebaliknya kepercayaan kepada yang lain atau penafian kepada kedua-dua hakikat tersebut memberikan kesan yang negatif. Hubungan yang lazim antara keimanan kepada Allah dan hari akhirat dengan keberkesanannya membentuk akhlak yang baik atau sebalik nya, jika tidak beriman dengan dua hakikat tadi dengan keberkesanan nya membentuk akhlakyang jahat dan buruk.
Orang yang beriman dengan Allah dan hariak hirat akan dikesani dengan sifat-sifat Allah  yang termahal dan tertinggi yang akan mengesani pula berbagai perlakuan dan kegiatan hidupnya. Perlakuandan kegiatan yang dikesani oleh sifat tinggi dan mulia ini adalah perlakuan dan kegiatan yang bernilai baik. Nilai kebaikan ini akan semakin meningkat dengan meningkatnya kesedaran kepada nilai pembalasan di hari akhirat sebagai tempat dan masa kehidupan insan yang hakiki. Demikian juga sebaliknya, orang yang tidak beriman dengan Allah tetapi beriman dengan tuhan yang batil dan palsu atau yang menepikan langsung konsep ketuhanan sudah tentu dikesani oleh sifat yang batil dan palsu yang berikutnya akan menyesali perlakuan dan kegiatan dalam hidupnya, lebih-lebih lagi yang langsung tidak mengakui pembalasan di atas perlakuan akan kegiatannya.


























BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Dapatlah dinyatakan dengan tegas bahawa akhlak yang mulia merupakan roh kepada agama Islam. Seluruh aspek dan ruang dalam agama Islam ditunjangi dan didasari oleh nilai akhlak yang mulia. Hal ini dapat kita fahami dengan baik, apabila kita menyedari bahawa misi kehadiran Nabi Muhammad itu sendiri ke alam ini adalah untuk melaksanakan tugas nyempurnakan akhlak yang mulia.
Dengan ini jelaslah bahwa hubungan akhlak dengan iman saling berkait rapat antara satu sama lain dalam melahirkan akhlak seseorang muslim yang benar-benar berkualitas, tanpa salah satudaripada aspek tersebut maka akhlak yang lahir tidak sempurna.

B.     SARAN
Demikianlah makalah yang kami buat, dan kami sadar karena keterbatasan pada diri kami, maka kami berharap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Atas segala saran dan yang diberikan kepada kami selaku penyusun mengucapkan terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA


Afifuddin, et. al.. Spektrum Pendidikan Islam. Bandung: Azkia Pustaka Utama. 2008.

Asmaran As. Pengantar Studi Akhlak – Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.

Prof Drs H.A Sadali, Dasar-Dasar Agama Islam, Bulan Bintang,Jakarta,1984.

Mohd Sulaiman bin Hj Yasin, Akhlak dan Tasawuf, Yayasan Salman,Selangor,1999.

Hamzah Yaqub, etika islam pokok-pokok kuliah ilmu akhlaq, CV Publicita, Jakarta,1972.


MADURA


A.     Latar Belakang
Ketika mendengar kata-kata "Madura" mungkin akan terbayang dibagian besar orang, Carok dengan celurit yang tajam dan menteteskan darah. Safo, Sate. Dan ramuan madura. Diantara keempat itu, carok yang sering menimbulkan pertanyaan yang belum terjawab secara tuntas. Sebab carok merupakan suatu pertempuran yang awalnya dimulut ke mulut bahkan mungkin berganti pada sesuatu yang mungkin bisa dihindari yaitu spertikian dengan menggunakan cara yang syirik yaitu santet.
Carok adalah suata kata yang tak asing lagi untu kita dengar sebab dengan terdengarnya kata-kata carok semua itu membuat bulu orang berdiri bagai dikejar hantu.
Carok merupakan tradisi bertarung satu lawan satu dengan menggunakan senjata (biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena carok merupakan tindakan yang dianggap negatif dan krimianal serta melanggar hukum. Ini merupakan cara suku madura dalam mempertahankan harga diri dan "keluar" dari masalah yang pelik.
Banyak yang menganggap carok adalah tindakan keji dan bertentangan dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental dengan agama Islam pada umunya tetapi, secara indivual masih banyak memegang tradisi carok.   
B.     Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian Carok ? ]
  2. Mengapa Carok sebagai Elemen identifi dan Etnisiti manusia madura ?
  3. Bagaimana Pelaku bentuk carok dan tanggapan terhadapnya ?
C.     Pembahasan
1.      Pengertian Carok
Pengertian Carok paling tidak harus mengandung lima unsur, yaitu tindakan atau upaya pembunuhan antara laki-laki, pelecehan harga diri terutama berkaitan dengan kehormatan perempuan (istri), perasaan malu (malo), adanya dorongan, dukungan persetujuan sosial dan serta perasaan puas, dan perasaan bangga bagi pemenang.
Carok adalah istilah yang berasal dari bahasa madura yang bermaksud berkelahi atau gaduh. Atau bisa ditafsirkan juga "carok" merupakan tindakan "Agresif" yang dilakukan olesh madura terhadap individu lain mempertahankan atau meraih semula harga dirinya, oleh yang demikia carok sangat akrab dengan manusia dan kedua-duanya tidak dapat dipisahkan
2.      Carok Sebagai Elemen Identiti dan Etnisiti Manusia Madura
Sebelum mengupas lebih jauh tentang carok elemen identiti orang Madura, elok sekiranya pembaca dijelaskan tentang pendekatan yang penulis guna untuk memahami konsep identiti. Identiti merupakan satu persoaalan atau konsep yang dapat dilihat sama ada dari sudut pandangan yang sederhana atau yang lebih konpeks. Hal ini kerena identik sebagai satu konsep dapat diliahat sebagai satu objek yang mempunyai dua sisi. Di satu sisi. Identiti dapat dilihat sebagai suatu fenomina yang natural, "kaku", dan tidak perlu diperdebatkan. Pada masa yang sama, ia juga papat dilihat sebagai fenomina yang bersifat "Cair", boleh berubah-ubah, dan diperdebatkan.
Dalam perspektif liberal, identiti dalam konteks hubungan antara individu dengan masyarakat buikanlah satu hal yang rumit. Dikatan demikian kasrena setiap individu mempunyai ciri atau sifat yang sama sehingga menjadikan mereka mempunyai simbol-simbol atau "identiti" sebagai anggota kepada suatu kelompok tertentu dalam masyarakat (Rouse 1995). Namun begitu, perkemabangan terkini dalam bidang antropologi teriutama dalam kajian memberikan hujah yang berbeda. Identiti dilihat sebagai satu proses pembentukan atau knstruksi sosial yang tidak stabil, yang berlaku didalam satu jaringan hubungan kekuasaan(Nonini dan Ong 1997). Oleh yang demikian, identiti tidak harus diluhat sebagai essence atau inti yang tidak berubah karena identiti mepunyai hubungan atau kaitan dengan pelbagai faktor. Dalam pengertian tersebut, identiti merupakan sesuatu yang dibentuk dan bukan telah terbentuk secara semula jadi (becoming rather than being) (Hall 1989). Ia juga tidak tertakluk kepada masa dan ruang (Shotter 1993), dan dibentuk atau dikonstruksi secara sosial (jackson & Pensose 1993).
Sesuai dengan perspektif konstruksi sosial, pembentukan identiti sebagai suatu fenomina sosial dapat difahami dengan melihatnya dalam konteks dua realita sosial. Pertama, realita authority-defined, yaitu realita yang didefinisakan oleh pihak yang berada dalam struktur kekuasaan yang dominan. Kedua, realita sosial everyday-defined, yaitu realita yang didalami sendiri oleh individu dalam kehidupan seharianya. Kedua-duanya realita tersebut wujud secara seiringan pada sebarang waktu (Shamsul 1996). Dalam kehidapan seharian kedua-dua realita tersebut saling berkaitan dan secara berterusan saling mempengaruhi. Oleh yang demikia, kedua-duanya mungkin mempunyai persamaan atau sebaliknya. Hal ini karena realita sosial everiday-defined merujuk kepada sesuatu yang dialami, manakala realita sosial authority-defined hanyalah hasil pemerhatian dan interpretasi. Oleh yang demikian, identiti yang dipunyai oleh seserang mungkin bersifat ganda yaitu disatu sisi adalah hasil dari apa yang dinyatakan oleh autority-defined. Pada sisi yang lain pula. Identitinya itu diperoleh melalui pengalaman hariannya.
Dalam laporan Mohammad Bakir, seorang wartawan kompas tentang orang madura menyebutkan bahwa untuk memahami masyarakat madura memang gampang-gampang susah (Kompas 17 Nobember 2000). Gampang atau mudah karena sifat masyarakat madura yang terbuka. Susah karena tidak semua orang dapat memahami masyarakat secara lengakap dan benar. Berdasarkan sejarah pertembungan masyarakat Madura dengan kelompok etnik lain, mereka cukup dikenal seabagai orang yang giat dan tekun bekerja serta mudah beradaptasi. Orang Madura juga sangat terkenal sebagai orang yang sangat berpegang kepada agama. Namun begitu, pada masa yang sama mereka juga sangat terkenal dengan kekerasan seperti carok. Maka timbul soalan bagaimana sikap beragama boleh berdapingan dengan kekerasan? Untuk memahami lebih lanjut tentang orang madura tentunya tidak cukup dengan hanya mendengar stereotaip tentang mereka. Bagi tujuan itulah, pada masa yang perbincangan berikut kupasan tentang carok menjadi salah satu unsur identiti dalam kehidupan orang madura.  
3.      Pelaku, Bentuk Carok dan Tanggapan Terhadapnya
Menurut Denkers (dalam jonge 1993 :4), umunya orang madura yang melakukan carok adalah lelaki yang berarti seorang lelaki menantang lelaki lain, bukan lelaki menantang wanita, apalagi wanita menantang wanita yang lain. Apabila berlaku pembunuhan atau tindakan kekerasaan oleh seorang lelaki terhadap seorang wanita, atau oleh seorang wanita terhada wanita yang lain, peristiwa tersebut tidak disebut sebagai carok tetapi sebagai atokar (perkelahian) atau mate'e oreng (pembunuhan biasa). Oleh karena itu, bagi orang madura carok adalah urusan lelaki semata-mata dan bukan urusan wanita. Hal tersebut dipertegas dengan ungkapan oreng lake' mate acarok, orang bine' mate arembi yang bermaksud lelaki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan anak (Latief Wiyata 2002 : 177).
Tidak semua tidakan agresif yang dilakukan oleh torang madura dapat dianggap sebagai carok. Pada umumnya, tindakan agresif menyebabkan mangsa hanya mengalami luka ringan hanya disebut oleh madura sebagai atokar atai perkelahian biasa. Carok hanya merujuk kepada tindakan yang menyebabkan mangsa luka parah atau mati. Bahkan lazimnya, pelaku carok hanya akan merasa puas, lega dan bangga sekiranya mangsa mengalami kecederaan parah dan mati.
Carok dapat dilakukan berbagai cara.
1.       Carok dengan cara nyelep adalah tindakan menyerang musuh secara serang hendap, yaitu menyerang secara mengejut dari belakang dan dengan sekali tebas membelah perut atau memotong urat nadi leher (Touwn-Bouwsma 1980). Cara nyelep dianggap lebih mudah untuk menewaskan lawa, namun cara ini dianggap sebagai tindakan pengecut (kerji) atau tidak kesatria. Oleh yang demikian, carok nyelep merupakan suatu usaha yang terancang untuk membunuh seseorang atau menyebabkan kecederaan parah, dengan menggunakan kesempatan sewaktu mangsa dalam keadaan lalai dengan tujuan untuk melepaskan rasa dendam atau rasa sakit hati akibat dipermalukan oleh mangsa di khalayak umum (Soetandyo 1980).
2.      Carok yang kedua ialah dengan menentang musuh secara berhadapan dan tindakan ini boleh dilakukan dimana-mana sahaja.
3.      Carok yang disebut sebagai ngonggai, yang mana pihak yang lain melakukan carok harus mengunjungi rumah lawannya lalu mencabar untuk bertarung secara berdepan.
Carok dalam cara yang kedua dan ketiga tersebut lebih mendeakati apa yang dinyatakan oleh Abdurrahman (1977) tentang carok yaitu sebagai suatu perkelahian yang menggunakan senjata tajam antara seorang individu dengan individu lain atau antara satu kelompok dengan kelompo lain, yang terlebih dahulu dipersetujui tentang tempat dan waktu carok akan dilangsungkan. Namun begitu menurut informasi, carok yang seperti ini sudah jarang berlaku. Carok yang sering berlaku adalah bentuk caro nyelep.
4.      cara yang keempat ialah carok yang disebut sebagai gu'-teggu'sabbu'. Dalam cara ini pelaku carok saling memegang seutas tali pinggang dengan tangan kiri dan pada masa yang sama dengan kanan mereka saling menghayun celurutnya. 6 apapun cara yang dipilih, dalam setiap peristiwa carok pasti akan berakhir dengan cedera parah atau kematian. Biasanya carok yang dilakukan dengan nyelep akan menyebabkan orang yang diserang mati, sedangkan penyerang hanya cedera ringan atau tidak cedera sama sekali. Manakala dalam mendapat kecederaan parah atau mati.   

D.     Kesipulan
Sejak sekian lama, carok tampak tidak dapat dipisahkan dari pada masyarakat Madura. Carok cukup sinonim dengan orang madura biar dimanapun mereka berada, sama ada didaerah tanah tumpah darah mereka ataupun didaerah lain seperti malaysia. Carok jugalah yang menybabkan anggota masyrakatan lain merasa gerun apabila berhadapan dengan orang madura. Di Pontianak, Kalimantan Barat misalnya, carok lah yang menyebabkan Preman atau samseng Batak tidak berkutik.
Carok sebagai suatu fenomina sosial dapat ditafsirkan dari dua sudut yang berbeza. Dari sudut pandang auitority-defined (yang bertitk tolak dari kaca mata pihak yang berkuasa). Carok tentunya dianggap bertentangan dengna peradaban manusia. Oleh yang demikian carok dianggap sebagai suatu tindakan jenayah yang perlu dihetikan.
Carok dimata orang Madura tentunya ditafsirkan berdasarkan pengalaman, nilai dan norma yang menyelubungi kehidupan mereka. Dari sudut pandang every-defined, orang Madura membezakan antara kes bunuh dan carok. Sesuatu kejadian yang berakhir dengan pembuhan diaanggap sebagai kes bunuh atau jenayah apabila ia berlaku tidak berlandaskan alasan membela maruah diri. Kejadian yang didatangi oleh blater atau samseng misalnya tidak dapat dikatakan sebagai carok. Manakala kejadian bunuh yang dilakukan dengan alasan membela meruah. Maka barulah kejadian membunuh itu dinamakan carok.